Kali ini, saya akan bercerita kisah saya masuk ITB. Ya, ITB
siapa yang tidak tahu perguruan tinggi teknik the oldest and most prestigious
engineering campus. Meski tes masuknya saat ini telah berbeda dengan zaman saya
dahulu, tapi seenggaknya bisa dijadikan rujukan dan sejarah perkembangan masuk
perguruan tinggi.
Sambil menunggu kelulusan SMA, beberapa PTN telah membuka
penerimaan mahasiswa baru jauh sebelum pengumuman ujian nasional. Saya nyoba
PMDK ITS ke jurusan Teknik Kelautan, UM UGM daftar Teknik dan Pertanian, juga
USM ITB ke Teknik dan MIPA-nya. Masuk PTN tentu bukanlah hal yang gampang,
selain bersaing dengan peserta yang banyak, saya juga dihadapkan berbagai
cibiran. “Pengen masuk ITB ? Emang ranking berapa ?” itu salah saya pertanyaan
yang saya masih ingat. Track record keluarga saya yang memang tidak ada kuliah
mungkin latar belakangnya. Tapi, apa itu salah? Masbuloh, masalah buat loh,…
Tapi, keluarga sangat mendukung, ya bagaimana pun namanya
keluarga pasti ingin yang terbaik. Tes masuk ITS saya ga lolos, kayaknya karena
pas home visit saya tidak ada di rumah. UM UGM saya masuk di pilihan kedua,
Manajemen Sumber Daya Perikanan. Dan ITB masuk di FMIPA.
Masuk ITB, ini yang masih keinget sih. Saya beli formulir ke
gedung Annex dari Tasik naik bis Budiman pagi-pagi jam 8-an. Loket dibuka
sampai jam 2 siang. Budiman ternyata lumayan lelet kala itu dan saya sepanjang
jalan khawatir terlambat dan tidak bisa dapat formulir. Oia, sewaktu di bis
saya bertemu kang Dudi RS, tutor jurnalistik saya yang berjiwa muda banget.
Sesampainya di terminal Cicaheum saya nyari tempat fotokopian, kareda ada
beberapa berkas yang belum siap. Nyarinya cukup sulit, karena dekat sini tidak
ada sekolahan. Tempatnya agak jauh di depan. Kemudian saya lanjut dengan angkot
jurusan ledeng dan berhenti di tamansari. Kang Dudi berbeda jurusan, mau ke
Unpad DU naik Ciroyom.
Sesampainya di Annex, dicarilah loket pembelian formulir
USM. Saya pun diterima bapak yang baik, belakangan saya tahu dari kwitansinya
bernama M. Toha. Sebelum memperlihatkan berkas, saya dihebohkan dengan lupanya fotokopi
KTP orang tua, yang ternyata ketutup map di loketnya. Akhirnya setelah berkas
lengkap, saya serahkan dan membayar formulir 50.000 aja (aslinya formulir USM
500.000). Formulir pun saya dapatkan dan pulang ke Tasik untuk diisikan.
Sesampainya di Tasik, disambung naik angkot 05 dan entah
mengapa keluar jalur trayeknya dan diturunkan di alun-alun Tasik. Padahal
petang itu hujan, dan tidak bawa payung. Alhasil saya ke asrama SMA
hujan-hujanan. Dalam hati, ya Alloh, semoga formulirnya tidak kenapa-napa dan
mungkin ini awal perjuangan ujian dan pengorbanan masuk ITB (lebay juga sih).
Selesai pengisian formulir, saya kembalikan dan tukarkan
dengan kartu peserta ujian. Sebelum tes USM Terpusat ini, ada ujian USM Daerah.
Kawan sekelas yang juga tercantik di kelas saya kala itu, neng Linda Wulandari
ikut USM Daerah tetapi belum masuk. Darinyalah, saya dapet spoiler tesnya akan
seperti apa dan apa senjata yang harus dipersiapkan.
Saya pun ke ITB untuk bertarung merebut jatah kursi kuliah.
Saya di USM terpusat ini memilih FTTM, FITB dan FMIPA. Saya mengikuti ujian dengan
nebeng di kenalan anak ITB yang juga orang Ciamis, kang Araf Pratama Naim
(nuhun kang). Saya kenalnya pas try out KMC Galuh Taruna di Islamic Center. Sebelum
hari pertarungan, saya survey dulu tempatnya yang ternyata terletak di lantai 1
gedung planologi, cukup dekat dari depan kampus.
Hari tes itu pun tiba, entah kenapa harus berseragam SMA,
jadi tahu deh mereka dari mana aja. Luar biasa sekali kebanyakan dari Jakarta
dan Bandung. Mereka banyak yang dari sekolah yang sama. Derita gue cuma sendiri
ikut tes ini dang a ada temen ngobrol. Mau kenalan juga malu, soalnya saya dari
ndeso, kampong dan yang lain dari perkotaan. Pesertanya banyak banget sampai
SMA 1 Bandung juga jadi lokasi tes. Hari pertama kami diuji psikotes. Pilihan
ganda yang isinya tes potensi akademik. Ada menggambar yang 8 kotak, terus
menggambar seseorang tokoh (saya menggambar seorang ustadz, entah kenapa
kepikirannya itu), menggambar pohon mangga, dan menulis cita-cita ke depan mau
jadi apa kalo ga salah. Dan sesi akhir menjumlahkan angka Koran yang gede itu.
Tambah stress jika udah ada yang minta nambah kertas korannya itu.
Hari kedua kami di tes Matematika dasar, bahasa inggris
(sekelas TOEFL, reading-nya saintifik semua) dan MIPA terpadu (yang pilihannya
sampai J). MIPA terpadunya cukup sulit dan sangat konseptual untuk menjawabnya.
Sempet hopeless juga karena susahnya ini, malah beberapa peserta sudah nyerah,
tidak bisa menjawab sedangakan pengawas melarang untuk keluar. Akhirnya mereka
tidur saja. Tapi bagi saya, kala it uterus mencoba ngulik sebisa mungkin sampai
waktunya habis. Trik dari seorang guru untuk nembak menderet sepertinya tidak
bisa saya terapkan disini. Karena pilihannya sampai J, banyak pilihan, yang
berarti kebolehjadian jawabannya sangat sulit diprediksi. Yah, meski yang lain
berasal dari sekolah yang favorit, bisa bimbel dan bisa berusaha dengan uangnya
(beli buku, ikut les dll) dan saya tidak bisa dapat fasilitas seperti mereka,
tapi dengan bantuan guru-guru, kakak kelas yang mewariskan buku dan SSC
(Sekolah Saja Cukup). Saya selau yakin dan memegang prinsip saya punya Allah
yang akan selau membantu hambanya. Itu selalu jadi penenang jiwa, ketika sedang
down dan tidak yakin dengan diri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar