“Lebih baik dipenjara
karena menulis buku ini. Jika tidak ditulis, malah akan membuat terpenjara
selamanya.”
Panggung telah terisi
dua pembicara, yaitu Aat Suratin dan Tisna Sanjaya. Keduanya hadir sebagai
pembicara bedah buku “Surat Malam Untuk Presiden”, karya Acep Iwan Saidi. Kursi
yang berjejer depan panggung awalnya masih sepi pengunjung. Bedah buku ini terlaksana
Rabu (3/10) di Gedung Landmark Jalan Braga, Bandung. Diskusi bedah buku ini
dimoderatori Dian Galuh Purba.
Beberapa menit berlalu,
peserta diskusi sudah cukup ramai mengisi kursi yang disediakan. Lebih kurang
lima puluh orang pendengar hadir di diskusi ini. Belum termasuk pengunjung
pameran buku yang datang sebentar, atau mendengar sebagian-sebagian saja. Bedah
buku ini merupakan rangkaian kegiatan Pameran Buku Bandung 2012.
Buku ini ditulis
pengarang yang katanya hasil dokumentasi ratusan status Facebook. Tentunya,
status yang dibuat merupakan hasil tulisan yang terkonsep terlebih dahulu.
Status facebook yang oleh beberapa orang dijadikan dijadikan sebagai tempat
curhat, mengeluh, dan meluapkan perasaan yang sedang dirasakan. Tapi penulis,
menjadikannya sebagai penyampai kritik dan pemikiran dalam kehidupan sosial
yang cerdas dan bernas. Bagi penulis, menulis status Facebook, seperti melulis
buku. Karena, ternyata perlu referensi pula untuk tulisan statusnya itu untuk
menanggapai beberpa komentar orang yang serius. Oleh karenanya, membaca buku
ini, pembaca seperti diajak berdialog dengan penulis statusnya. Jangkauan
bahasan buku ini pun menjadi meluas karena orang yang menanggapi status.
Pembaca akan dimanjakan isi pikiran lain, tidak hanya pikiran si penulis.
Dalam bedahan buku ini,
Aat Suratin menekankan benar-benar kritik yang membangun dan kritik yang
menjatuhkan. Kritik yang bersifat empatif, bahasanya akan sampai ke hatinya
karena kritik terbit dari kejujuran. Berbeda dengan kritik yang emosional,
bukan malah akan memberikan perbaikan pada sasaran kritik, tapi malah semakin
menjadi.
Pemilihan sampul buku
berupa gambar mesin ketik, dimaksudkan bahwa suatu proses menulis dengan mesin
ketik, membutuhkan pola fikir sistemik yang terasah, disiplin, sehingga apa
yang akan dituliskan itu telah tersusun sebelumnya dan mengalir dengan baik
mengikuti alurnya. Mesin ketik pula, memiliki daya magis yang beda bagi
beberapa penulis.
Isi buku ini,
sebenarnya tidak hanya ditujukan kepada presiden semata, tetapi ditujukan pula
untuk para pemimpin lainya seperti gubernur, walikota, bupati dan pejabat
publik lainnya. Pemimpin di Indonesia sekarang, tidak cukup hanya dibekali
kemampuan manajemen yang baik, kemampuan ini mungkin perlu bila yang dipimpinya
pabrik. Tapi, seorang pemimpin di Indonesia apa lagi presiden, kemampuan yang
harus dimilikinya haruslah seperti konduktor. Kemampuan konduktor yang dapat
memainkan harmoni berbagai nada yang beda dan dari alat yang berbeda. Peran
inilah yang harus dimainkan pemimpin Indonesia untuk memimpin Indonesia yang
beragam ini.
Sosok pemimpin ideal
pun digambarkan penulis dalam buku ini bak metamor Arok dalam karya Pramoedya.
Sosok ini dilahirkan dari kaum bawah, satria, dan santun pada yang dipimpinnya
Tisna Sanjaya di sela diskusi
ini pula membacakan puisi yang begitu indah, sembari membagikan Pisang Raja
Bulu pada beberapa peserta yang hadir di bedah buku ini.
Sikap apa yang harus dibangun setelah
membaca buku ini ?
Orang yang membaca buku
ini dapat merdeka. Ibaratnya, buku ini seperti menjual benih, ketika kita telah
membelinya, maka benih itu adalah miliki kita, dan kita dapat mengambil manfaat
dari benih itu bila kita merawat dan menumbuhkannya dengan baik. Begitu pula
dengan buku ini, pembacanya akan dibekali benih untuk menumbuhkan tulisan yang
berkwalitas yang menjadi miliknya sendiri.