Sabtu, 17 September 2011

Tips Membuat Paspor -part 1-

Memiliki paspor, sudah menjadi rencanaku dari jauh-jauh hari. Meski tidak tau mau ke luar negeri kapan, tapi setidaknya bolehlah kita punya dulu tiket ini untuk melihat dunia –adaptasi rhenal kasali- dalam notes Deliabilda Luvina. Membuat paspor, ini juga tidak lepas dari “kepanasan”  kawan dekat saya. Sebut saja, Yogi Achmad Fajar yang telah melanglang buana ke tanah gingseng. Kang Irpan Waliana yang riset di Meiji Pharmaceutical Univ, Japan. M. Aini yang hobi bolak-balik Singapur. Atau Han han Dianhar, yang berencana nonton di Singapore. Ah, sungguh keinginan itu makin menggebu, apalagi banyak kawan dan teman saya yang terbang ke luar negeri, Mila, Nuy, dan Hestin dari London, Mayang dari Eropa, teh Deti dari Lindau Jerman, juga ustadz tetangga saya, Kang Cucu Surahman yang studi di Leiden, dan pertukaran di Ausie. Setidaknya, kisah mereka dapat saya serap ilmunya, dan semakin memecut diri untuk dapat terbang ke luar negeri, Study Abroad, Around the World.

Panjang juga ya latar belakangnya. Selanjutnya, saya memilih membuat paspor di Kantor Imigrasi Kelas II Tasikmalaya yang beralamat di Jalan Kusnadi Belanegara No. 37 Ciawi, persis di depan alun-alunnya. Saya memilih tempat ini karena niatnya sambil liburan juga, dan dari sumber lain yang katanya, bila membuat paspor di Kota Bandung, harus dalam 3 hari yang berbeda-beda (1. aplikasi, 2. wawancara, 3. Pengambilan), danmengharuskan ada satu hari yang nomor 2 itu untuk wawancara, pengambilan sidik jari, foto yang mengharuskan stand by seharian. Berhubung saya tidak bisa untuk stand by, melihat jadwal kuliah padat, dan dosen semester ini yang strikk bagaikan Hogwarts Zaman Dolores Umble.

Hari Pertama
Akhir kuliah tanggal 24 Agustus, tanggal 26 Kemudian, yaitu hari Jumat saya berangkat dari Bandung sehabis makan sahur dan shalat subuh. Saya berjalan menaiki perbukitan jalan aspal tanjakan menuju jalan Tamansari dari kediaman saya di KBS (bukan stasiun TV Korea, tapi Kebon Bibit Selatan). Setelah sampai di jalan raya, saya menggesek uang untuk membuat paspor di Bank BNI (iklan dulu, sponsor he2) Sebelah Rektorat ITB. Sayapun kemudian duduk termenung menunggu angkot Caheum Ledeng di depan Kafe PERSIB ( Graha Panjalu maung bandung, dengan menu andalannya, soup maung).

Tiba-tiba, ternyata ada mobil elf-nya langsung lewat jalan itu, katanya menuju Ciamis, saya pun naik elf itu dengan ongkos Rp. 35.000,- ternyata saya diturunkan di Jalan belokan Pamoyanan yang menuju Suryalaya. Kemudian saya beralih kendaraan naik angdes Pageurageung- Ciawi dan berhenti di belokan yang menuju pasar Ciawi dengan ongkos Rp. 3.000,-. Turun dari sana, dilanjutkan jalan kaki menuju Kantor Imigrasi, lokasinya lumayan jauh-jauh-dekat dari tempat saya berhenti tadi. Beberapa tukang ojek pun menghampiri saya dan menawar-nawari untuk menaikinya. Saya pun mengacuhkannya, karena mereka tau, saya pendatang bagi mereka, dan akan menjadi sasaran empuk untuk member tariff yang mahal. Saya mencoba meng-SMS adik kelas saya Devania Nur Sakinah (ya kali bisa ngasih tumpangan gratis) tapi yang bersangkutan nomornya saya miskol tidak aktif. Alhasil, saya ngesotlah menuju kantor imigrasi.

Kira-kira satu kilometeran jaraknya, akhirnya sampai juga, pukul setengah Sembilan, masih sepi (apa lagi bulan puasa, tapi ga bisa jadi alas an juga dong). Terlihat beberapa bapak-bapak bersiap di depan pos satpam untuk mencari mangsa (calo ni, satpamnya bukannya ngamanin, malah dibiarin coba, ckckckck parah). Saya pun masuk ruangan dan berjejer kursi yang cukup bagus, tidak seperti depan prodi saya yang ada jebakan Batmannya (bisa-bisa jatuh). Di ruang tunggu ini, terdapat meja panjang (Counter A) dan loket pembayaran (Counter B) yang menghadap langsung ke aplikan. sebelah kirinya, ada tempat pengambilan foto dan sidik jari serta ruang wawancara (Counter C). Ruangan ini berdinding cermin normal, sengaja untuk aplikan yang akan bergaya, sebelum pengambilan foto. Di ruangan ini juga dilengkapi televisi layar datar yang cukup besar, rak Koran lokal terbaru dan poster tarif pembiayaan administrasi keimigrasian yang sangat lebar (bagus, untuk menghindari manipulasi dari oknum petugas).

Saya pun duduk, dan masih bingung melihat-lihat (rajin banget, terdepan, petugas aja belum pada datang, he2). Saya pun bertanya pada bapak-bapak yang lumayan sudah berumur, dan menanyakan konternya buka jam berapa. Dia pun menjawab sebentar lagi (padahal, dari tempat parkir, terpampang jam bukanya dari 7.30). Dia pun bertanya balik, apa saya sudah mengisi lembar aplikasi. Saya jawab belum. Kemudian dia mengarahkan saya untuk membeli map dan formulir di Koperasi imigrasi. Disana, ada tempat mencopy dokumen aplikan, map khusus berikut lembar formulir bercap CUMA-CUMA, dan formulir pernyataan dibandrol Rp. 6.000,- (masih murah la ya di banding di Bandung).

Formulirpun saya isi, dan harus memakai pulpen berwarna hitam dan huruf Kapital. Setelah form diisi lengkap semua (isiannya sama persis bila kita mengajukan permohonan secara online), serahkan pada petugas penerimaan berkas di Konter A disertai lampiran :
1.      Fotokopi KTP (di kertas A4, jangan dipotong, berikut belakangnya di satu halamankan)
2.      Fotokopi akta kelahiran
3.      Fotokopi Kartu Keluarga
4.      Fotokopi Ijazah (sertakan pula semua aslinya untuk di cross cek keasliannya)
Itu persyaratan bila status kita mahasiswa dan belum menikah. Khusus pegawai, harus ada rekomendasi atasan, dan yang menikah sertakan buku nikahnya. Selanjutnya petugas memeriksa kesamaan nama saya, dan nama orang tua, alamat, tanggal lahir dan lainnya.

Petugaspun memanggil saya, dan ditemukan perbedaan nama di kartu keluarga, meskipun beda satu huruf yang tidak terlalu signifikan, petugas menolak aplikasi paspor saya dan meminta memperbaiki dulu nama yang berbeda tersebut. Pelajaran hari ini, harus konsisten dalam penulisan identitas apapun dalam dokumen resmi. Saya pun pulang dari kantor imigrasi ini dengan kecewa, hiks hiks,… Susah ya bikin paspor,…

Jam Sekarang Coy